Selasa, 20 Maret 2012

KEBUDAYAAN

KEBUDAYAANKU

      Setiap suku bangsa mempunyai norma sebagai acuan dan pranata hidup bersama dalam masyarakat. Norma menjadi pegangan dan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Kehidupan bermasyarakat yang tidak dituntun dan dilandasi oleh norma bagaikan kehidupannya para satwa di hutan. Norma yang terlembaga biasanya melekat dalam organisasi dan sifatnya tertulis. Sedangkan norma yang tidak tertulis bisa berbentuk dalam ungkapan-ungkapan maupun peribahasa. Ungkapan atau perbahasa ini bisa menjadi semacam tuntunan/nasehat bagi anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya.

      Masyarakat Jawa sudah sejak lama mengenal adanya peribahasa/ungkapan yang bisa dijadikan acuan atau pedoman dalam hidup sehari-hari. Dalam masyarakat Jawa, ungkapan atau peribahasa ini tidak sekedar untuk dijadikan tuntunan namun lebih dari itu bisa juga sebagai peringatan maupun penggambaran suatu kondisi yang diharapkan.

      Dalam hubungan etika dan tata krama pergaulan orang Jawa mempunyai banyak ungkapan yang bisa dijadikan pedoman maupun pelajaran. Diantaranya ialah ungkapan "Ojo ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton." Boleh dikata ungkapan tersebut merupakan pedoman agar dalam berbicara tidak sembarangan atau dengan cara yang ngawur. "Ojo ngomong waton" berarti jangan asal bicara. Jangan semaunya dalam berbicara. Sebab kalau berbicara secara sembarangan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Selanjutnya, "ngomongo nganggo waton" bermakna berbicaralah dengan patokan atau alasan yang jelas yang bisa dipertanggung jawabkan.

      Dalam hubungan dengan religiusitas, orang Jawa mempunyai ungkapan yang patut menjadi pedoman. Ungkapan tersebut adalah "Agama ageming aji." Suatu ungkapan yang lahir dari kepercayaan batin yang dilandasi rasa ketuhanan orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam hidup sehari-hari. Ageming aji berarti busana yang sangat berharga. Dalam pandangan orang Jawa, agama bukan hanya dipahami dalam tataran rasio atau kognitif semata melainkan harus diyakini hingga menyentuh hati dan diamalkan dalam setiap perbuatan. Karena itulah, agama lebih sebagai ageman (busana atau pakaian). Disisi lain, aji merupakan sesuatu yang sangat berharga yang menjadi pegangan serta tidak bisa dibandingkan dengan apapun juga. Dengan demikian agama merupakan pegangan manusia yang sangat bernilai dan tidak tergantikan.
Aji bisa juga merupakan simbolisasi dari raja, atau pemegang tampuk kekuasaan negara. Bagi seorang pemimpin, dalam menjalankan roda pemerintahannya diharapkan selalu berpedoman pada nilai ajaran agama. Dengan kata lain, seluruh kebijakannya harus berpedoman pada nilai-nilai agama yang dianut rakyatnya.

      Aspek hukum, keadilan, dan kebenaran pun orang Jawa juga mempunyai peribahasa/ungkapan untuk menggambarkannya. Sebagai contoh, "Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara." Ungkapan ini mengandung makna bahwa kebenaran, kebaikan, maupun kejelekan itu kalau sudah sampai masanya akan menampakkan jati dirinya. Dari ungkapan bisa diambil pelajaran agar orang tidak merasa takut untuk menyuarakan/berbuat kebenaran dan kebaikan serta jangan berbuat/melakukan kejelekan karena kejelekan meskipun ditutup-tutupi kalau sudah sampai saatnya pasti akan ketahuan juga.

Demikianlah norma adat jawa yg selalu diajarkan orang tuaku agar bisa menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari.intinya kesopapanan merupakan dasar norma jawa oleh karena itu masyarakat jawa sangat menjaganya